Senin, 05 Oktober 2009

Perahu Perak ((Batam Pos, 13 September 2009)


Malam itu, kabut yang mulai turun di muara sungai menjadi saksi atas pinanganmu. Ranum bulan yang mengitip malu di balik arak-arakan mega, laksana wajah sang Putri Ayu dari negeri Sriwijaya ketika sang pangeran impian menambatkan perahu peraknya di hati sang putri mahkota. (by. Guntur Alam)


Ketika malam telah jatuh ke pelukkan pekat, aku selalu membuka jendela kamarku yang hinggap di muara sungai. Menandai gelap yang tengah bertahta. Membuka lipatan-lipatan luka yang masih tersusun rapi di dalam laci hatiku. Melukis kembali sketsa-sketsa wajahmu yang rupawan. Maka, rindu ini semakin mekar. Menyentak kuncup madah yang telah lama menggigil dalam duka. Lewat malam, aku mengisahkan sendiri derai-derai luka ini menyatu dalam senyap.

Di sudut kamar ini, aku membingkai wajahmu dalam kenangan. Membiarkan wajah-wajah polos yang kau tinggalkan bertanya dan menguak kuncup-kuncup luka. Mengorek dari tiap sudut parasmu atas masa yang telah retak antara kita. Luka pada jiwaku bertambah parah. Membentuk danau luka yang bernanah. Menyalinkan dendam yang lahir dari rahim gerhana. Menghempas aku ke pusaran kelam.

“Apa ini bapak, mak?” itu tusukkan luka yang dihujamkan anak jantanmu. Memeras airmata yang telah kering dari sumur retinaku. Tetapi, bibir dusta tetap saja aku semaikan. Karena aku masih mencintaimu.

“Ya, sayang. Tampan bukan, seperti dirimu.” Tohokku pada jantungku sendiri. Untaian kata yang tergesa aku ralat dari catatan sejarah. Karena kenangan yang kau tinggalkan telah aku kubur di ladang hati. Kubenamkan bersama diriku yang terlempar ke dalam jurang kenistaan.

Anak jantanmu tersenyum bangga. Jujur senyumnya serupawan senyummu. Akan tetapi, aku tak bisa melukiskan dengan sempurna senyummu kembali. Sebab, terlalu lama senyum itu tak hadir. Senyum yang dulu menggetarkan seluruh jiwaku. Memekarkan sekuntum bunga yang tumbuh di jantungku. Menguak batas-batas impian, menghujam ke langit ketidakmungkinan. Kala itu, aku menggigil ditengah takutnya akan ketinggian harapan yang kau untai dari bibir manismu.

“Kita akan melayarkan perahu perak itu,” tunjukmu pada perahu berkilau yang tertambat di muara sungai depan rumahku. Anganku melayang ke awang-awang, mengepakkan sepasang sayap yang tumbuh berlahan.

“Aku akan memegang dayungnya dan membuat perahu itu membelah sungai Lematang,” tambahmu, semakin membuatku menggelinjang. Lupa bumi yang masih terpijak. Hingga kabut yang mulai turun tak terasa. Mataku hidup dalam binar.

“Aku akan sangat bahagia menjadi pendampingmu melayarkan perahu perak itu,” jawabku dengan semu merah yang mencumbu pipi. Mematangkan putik yang menjelang buah. Malam itu, kabut yang mulai turun di muara sungai menjadi saksi atas pinanganmu. Ranum bulan yang mengitip malu di balik arak-arakan mega, laksana wajah sang Putri Ayu dari negeri Sriwijaya ketika sang pangeran impian menambatkan perahu peraknya di hati sang putri mahkota.

* * *

Aku ingat dengan jelas, kenangan manis itu masih tersusun rapi di laci hatiku. Wajah rupawanmu gagah perkasa, bak pangeran dari negeri Jawa yang hendak menyunting putri melayu dari kerajaan Kebon Undang1 Wajahku memerah, meronakan semua harapan seperti ranumnya delima. Anganku melayang jauh ke negeri awan, bersama tetabuhan suara musik Melayu yang menyambut pengantin baru. Duhai, bahagia tiada terkira hatiku. Bak raja dan ratu dalam sehari, kita duduk berdua dengan manis di pelaminan kayu ukir.

Dari tempat duduk sang ratu-lah, aku mulai mengukir semua mimpi dan harapan akan perahu perak kita. Kau yang akan mendayung, sedang aku akan menimbah air yang mulai masuk di dalamnya. Menyiapkan makanan cinta tiap kau lapar, menyediakan diri sebagai pelayan.

Malam yang kudamba telah menjelang, degup di dada tak terlukiskan. Romantisnya makan berdua di meja makan. Ada lirik-lirik malu tapi mau yang ku sembunyikan. Tawa canda dilemparkan saudara yang makan bersama. Aduhai, jantungku makin berdegup kencang ketika malam semakin merangkak pekat.

Pada malam aku minta berhenti sejenak, karena aku benar-benar tak bisa membuat jantungku senyap. Tetapi, waktu merangkak jua. Dengan gagah dan penuh kehangatan kau menggenggam tanganku, membimbingku menuju perahu perak kita. Sejujurnya, aku gemetar. Kali pertama dalam hidupku, akan satu ranjang dengan lelaki. Dan lelaki itu dirimu, pangeran rupawan yang telah mencuri diriku dari raja ayahku.

Kubiarkan saja, bolham temaram. Mugkin dia jengah dengan lantai kamar. Detik seakan berhenti sejenak. Pun jangkrik yang acap kali menjadi penjaga malam. Kau mengurai tali tambang yang mengikat perahu perak pada sebatang koeni yang selalu menghasilkan buah yang ranum lagi harum. Menggulung berlahan tali temali itu, satu persatu. Aku diam menunggu dengan gigil. Mau berangkul malu. Waktu kujadikan saksi atas peritiwa ranum ini, melukiskan indahnya mendayung perahu bersama. Aku berusaha menjadi pelayan terbaikmu. Membantumu merangkaikan kenangan terindah dalam perahu perak kita. Dalam anganku, madu ini akan mengikat kita sehidup semati.

Tak kulupa wahai lelaki rupawan. Detik indah yang baru saja kita rangkai akan berubah jadi petaka. Baru saja aku menjejakkan kakiku kembali di bumi, kau telah menghempaskan aku ke lantai perahu kita. Wajah rupawanmu murka, bergurat drakula yang muncul dari bibir gelap. Aku gagap, tak tahu petaka apa yang telah tergelar.

“Kau tak perawan lagi!” hardikmu, menghujamkan pisau berkarat di jantungku. Aku ternganga. Tak percaya dengan kata yang baru saja kau luncurkan. Dalam cemas, aku menggeleng kuat. Menyangkal duga yang kini besar di dada perkasamu.

“Demi tuhan, aku belum pernah melakukannya,” belaku. Kali ini jantungku lebih kencang berdetak. lebih keras dari talu-taluan musik Melayu yang pagi tadi menghantar kita duduk di singgasana raja dan ratu.

“Wanita jalang!” makimu, memamah habis jantungku. Tak kuduga, kata-kata hina itu bisa terluncur dari mulut manismu. Bibir yang dulu kerap kali meluncurkan kata-kata cinta penuh rayuan, kini berubah pedas tak kepalang.

“Lelaki mana yang mendahuluiku?” tanyamu dengan wajah seperti rahwana murka. Tangan lembutmu yang tadi menggenggam jemariku mesra, kini mencengkram kuat pipiku tanpa belas kasihan. Aku mengeryit menahan sakit di pipi, jantung dan bawah tubuhku. Mataku berurai permata hangat, kau tak peduli. Bahkan sekarang kau menjambak rambutku, menengadahkan wajah bulat telurku.

“Tidak pernah ada laki-laki lain, bang,” jelasku dengan ketakutan yang telah bertahta di singgasana waktu. Kugigit isak yang mulai berlayar di bibirku. Tak tahu, mungkin teriakanmu seperti halilintar di malam purnama, pintur kamar kita telah digendor dengan suara keras. Aku menciut dalam isak.

“Bohong!” makimu, aku tak sanggup lagi menahan gerimis di tangkai awan. Akhirnya, kubiarkan saja dia jatuh berlahan di pipiku. Membentuk sepasang sungai kembar yang membelah kenangan, berharap perahu perak masih bisa berlayar.

“Sungguh, bang.”

“Plak..!” tangan perkasamu menampar pipiku. Aku meringis. Tak pernah sekalipun aku menghadirkan bayangan dalam otakku, kalau tangan lembutmu yang acapkali membelai pipiku dengan mesra, kini membelainya dengan keras.

Aku sesugukkan. Dalam sejenak, malam senyap. Angin terdengar bertiup sendiri. Daun-daun bambu rebah bersama rumput. Seakan tak mau menjadi saksi atas malam kelabu. Dalam sinar kamar yang tak lagi temaram, kau bergegas membungkus tubuh dengan helai-helai kain kebanggaan. Aku terdiam, ketika tanganmu dengan kasar melempar tali temali perahu perak ke tubuhku. Setelah aku mengikat kembali perahu itu dengan sempurna, kau membuka pintu kamar dengan murka.

“Ada apa?” tanya itu memyambut wajahmu yang menyembul dari balik daun pintu kamar kita. Wajah cemas seorang wanita paruh baya, seorang wanita yang sejak siang tadi resmi kupanggil sebagai emak.

“Tanya saja ke wanita jalang itu!” tunjukmu dengan muka merah padam. Aku menenggelamkan wajah dalam lipatan duka.

“Kenapa, nak?” wanita itu memelukku dengan hangat. Tangannya mengusap pundakku. Seakan ingin menguatkan diriku yang tengah gulana. Tak tahu musabab apa yang membuat lelaki rupawan murka.

“Aku tak tahu, mak,” desisku. Mengatakan yang sejujurnya. Karena aku benar-benar tak tahu gerangan apa yang telah membuat lelaki rupawan menjadi marah. Mengumpat dan mencaci di malam yang seharusnya manis bagai gula.

“Wanita jalang!”, makinya kembali, “dia sudah tak perawan lagi!” tunduhnya kembali. Aku tercekat. Pun dengan wajah-wajah yang hadir di ruang itu. Sepucat bulan pasi aku menggeleng. Bibirku gemetar.

“Lihat saja sprai kami, mak! Tak ada setetes darah pun, itu tandanya dia tak perawan lagi!” murkanya menjadi-jadi. Aku menciut bagai siput, seperti kuncup-kuncup doa yang memutih. Kembali dalam pasi.

Wanita itu bergegas menuju ranjang yang masih kusut masai, bertanda tadi ada perahu perak yang berlayar di sana. Dengan gemetar dia membentang sprai itu, dan matanya rabun menatap nanar. Tak setitik pun tanda keperawanan telah dilepas di sana.

Kuingat selalu wahai lelaki rupawan. Tiba-tiba saja wajah emakmu berubah saga, mengelam murka yang tertahan. Satu persatu kalian meninggalkanku. Sendiri. Bersama senyap kuarungi malam, tangis menjadi kawan setia yang duduk bersama. Perahu perak yang baru saja kau layarkan, telah kau tambatkan kembali. Lantaran kau duga diriku telah pernah melayarkannya dengan pendayung lainnya.

Sungguh lelaki rupawan, aku tak pernah berdusta akan ucapanku. Tak seperti dirimu yang ternyata penipu. Dulu, kau janjikan aku angan-angan setinggi awan. Tetapi, kini kau hempaskan aku ke dasar terendah dari magma. Hanya karena tak kau temui setitik bukti keperawanan di layar perahu kita. Kau pulangkan kembali aku kepada sang empu. Tak ada malu lagi yang bisa kulukiskan selain cibiran dari adat, gadis tak perawan dipulangkan suami setelah malam pertama. Dendamku tak akan pernah sudah kepadamu!

* * *

Ketika malam telah jatuh ke pelukan senyap. Aku akan membuka jendela kamarku. Menatap ke arah muara sungai, menandai gelap yang tengah bertahta. Membuka lipatan-lipatan luka yang tersusun rapi di laci hatiku. Pada satu pokok koeni, kutatap masygul perahu perakku. Telah tertambat sekian lama di sana, lapuk dimamah usia yang tak hendak berkawan.

Luka pada jiwaku bertambah parah. Berdarah dan bernanah menjadi sungai dendam yang tak berkesudahan. Tenang di permukaannya tetapi menyimpan pusar arus yang deras di dalamnya.

Telah kukubur di tanah orang mati, wahai lelaki rupawan. Penolakanmu atas hasil pelayaran pertama kita, dua wajah polos yang lahir bersama, hanya beberapa detik menjadi jeda mereka. Dugamu bertambah-tambah, ada pendayung lain selain dirimu. Katamu, tak mungkin pelayaran pertama menghasilkan tangkapan apalagi dua bersamaan. Kusumbat telingaku atas dugamu, tubuhku yang berdarah-darah karena memperjuangkan anak jantanmu tak begitu sakit ketimbang dadaku yang nyeri.

Demikianlah kini. Bertahun-tahun lipatan kenangan itu telah usang tapi tidak pernah luntur. Ia adalah luka yang hendak aku kubur, bersama jasadmu yang selalu kurindu. Tetapi, dendamku padamu tak akan surut. Pada malam yang jatuh dalam pelukan pekat, aku kirim kutukkan untukmu; kau tenggelam bersama perahu perak kebanggaanmu. Karena kau harus tahu; perahu perakku hanya pernah kau sentuh!***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar