Kamis, 10 Desember 2009

Berikan aku satu bintang



















Izinkan daku bertanya tentangnya

Sedang senyumpun tak seindah purnama

Ku bertanya tentang diriku

Akan kah bahagia ku rasa

Bila bahagia datang bersama senyum

Ku tak mungkin bertanya

Mengapa bintang ada di langit?

Bulan,

Aku ingi belajar bahagia

Memandang indahnya cahaya mu di malam hari,

Menikmati manisnya senyummu menyambut pagi

Boleh kah aku bertanya?

Ada apa gerangan pada bintang?

Yang telah membuat hati ini

Laksana mawar merah diterpa embun pagi.

Bulan,

Terimakasih atas cahaya dan senyummu

Aku tak berharap lebih dari itu

Maka, izinkan daku memetik satu bintang dari sisimu

Senin, 30 November 2009

aku hanya ingin kau tersenyum

Beri aku kesempatan sekali lagi untuk mengenangmu

Dosakah bila itu berlebihan?

Ah tidak,

Aku hanya ingin melihatmu tersenyum

Aku ingin kau hadir disetiap kebahagiaanku

D isaat toga bertengger di kepalaku

Bukankah kau ingin bersamaku berkeliling jogja?

Kau tersenyum manis saat aku bercerta tentang kota gudeg

Walau ku tahu berat hatimu jauh dariku

Ibu,

Setahun silam anakmu menangis disaat toga dikepala ini…

Tahukah engkau tulisan pertamaku ketika menginjakkan kaki di pulau jawa?

‘Aku akan membahagiakanmu ibu”

Semoga engkau bahagia di alam kubur dan di yaumil akhir….

Selasa, 10 November 2009

Irama kehidupan seorang ukhti

“Tata (Panggilan sayang sang ibu padanya), ibu ingin sekali menghadiri acara wisuda dan pernikahanmu”


Kabut gelap belum saja berlalu. Suasana pagi tidak secerah biasanya, mentari belum kunjung menampakkan wajahnya. Tiada hujan, tetapi tidak terlihat keramain di pagi itu padahal waktu menunjukan pukul 7 lebih. Maklum, biasanya suasana kost nan ramai oleh rutinitas persiapan perkuliahan di kampus pendidikan yogyakarta itu tiba-tiba terasa sepi.

Tampak seorang wanita dengan mengenakan jilbab lebarnya warna coklat sedang termenung. Ia orang yang disegani dikomunitas kosnya, mungkin karena ia yang paling tua diantara yang lain atau boleh jadi karena ia salah seorang yang senior dan memiliki peranan penting dikomunitas dakwah kampus mereka. Ia orang yang ramah sehinga wajar saja teman-teman merasakan hal yang aneh di pagi itu. Pasalnya, setelah sholat shubuh biasanya mereka mengadakan pertemuan dan bincang-bincang tentu saja setelah mereka wiridan ma’tsur, kali ini tanpa kehadiran beliau. Teman-temanya tidak berani menanyakan kondisi beliau, mereka mengira mungkin lelah karena kemarinnya seharian mengikuti dauroh.

Tiba-tiba saja mereka terkejut ketika menyaksikan orang yang paling mereka segani dan menjadi panutan duduk termangu, badannya lemas dan matanya berair. Selepas sholat shubuh ia mendapat telphon dari ayahnya yang jauh di pulau sumatra. Seluruh tubuh bergetar dan keringat membasahi sekujur tubuh saat suara tegas sang ayah menyampaikan “Ibunda telah mendahului kita ke syurga”. Tangisanpun tak tertahan.

Beberapa hari sebelumnya ia sudah mendapat khabar bahwa ibunya sedang sakit dan dirawat di rumah sakit. Akan tetapi saat itu sedang ada ujian semester ditambah lagi aktivitasnya sangat padat karena dua amanah dakwah yang ia jalani sekaligus, cukup menguras tenaga dan pikirannya. Tak terbayangkan, kader dakwah kampusnya banyak tersebar, tapi masih ada saja yang rangkap jabatan penting, apalagi di usia studinya yang telah masuk tahun ke 5 memiliki masalah yang membutuhkan perhatian para mas’ulnya.

Kenapa aku tidak pulang? Kenapa nasibku seburuk ini? Suara penyesalan wanita itu lagi-lagi terulang. Ia marah dengan dirinya sendiri karena tak ada seorang pun yang mau menggantikan salah satu amanahnya di kampus saat sang ibu berpesan padanya beberapa bulan sebelum kepergiannya di bulan syawal “Tata (Panggilan sayang sang ibu padanya), ibu ingin sekali menghadiri acara wisuda dan pernikahanmu”.

Pagi itu juga ia langsung berangkat ke sumatera setelah di belikan tiket pesawat oleh sang ustadzh. Sang ustazhlah yang memberikan ketenangan dan ketegaran jiwanya, seakan-akan hanya beliau yang dapat mengerti dan memperhatikannya saat duka melanda.

Dua pekan berlalu, rutinitas dakwah kampus berjalan seperti biasa. Walaupun sebagian ikhwah mulai kebingungan mencari pengganti untuk menghandle sementara amanahnya. Apalagi bagi sang mas’ul, setelah dihubungi ia memutuskan untuk tidak balik lagi ke jogyakarta untuk beberapa waktu yang tidak ada kepastian. Pasalnya ia harus menjaga dan mendampingi sang ayah karena sakitnya kambuh setelah kepergian sang istri.

Aku memutuskan untuk mendampingi sang ayah, ungkapnya dengan tegas walau terdengar parau karena kurang tidur dan banyak menagis dalam sebuah telphon seluler kepada sang mas’ul. Sebenarnya berat hati untuk meninggalkan amanah dakwah, akan tetapi takdir Allah menghendaki demikian (ungkapnya dalam hati).

“assalamu’alaikum.wr.wb, teh ana minta diuruskan kepindahan ngaji ana di sumatera. Ana tidak tahu apakah masih dapat melanjutkan kuliah atau tidak, karena sakit ayah makin parah dan kaki sebelah kanannya akan di amputasi”. SMS itu ia kirim ke Teh Anik sang ustadzah yang mendampingi dan membimbingnya ketika masih kuliah.

Teh anik (0813000xxxx)

Ukhti, coba ingat saat kita rihlah ke Bonbin Gembiraloka. Perhatikan kicau burung disekeliling kita yang begitu merdu. Alunan seruling angin yang bertiup melalui celah-celah kabut dingin. Gemercik aliran sungai ketika berbenturan dengan batu cadas. Dan sekali-kali dilengkapi dentuman bedug kehidupan yang terasa begitu keras. Perhatikan ukhti, suara-suara itu membentuk sebuah irama merdu dan mengasyikkan. Nikmatilah, buatlah seribu satu tarian harapan. Allah tidak akan memberikan irama kehidupan kecuali sesuai dengan kemampuan hambanya. Oya, ana sudah menghubungi ustdzah Fitri nanti beliau menghubungi anti.

Semua orang paham kalau sebuah irama merdu tidak berasal dari satu jenis suara. Ia merupakan perpaduan berbagai suara yang boleh jadi terkesan tidak sejalan atau bahkan bertentangan. Ada warna halus alunan seruling, ada dentuman kasar suara dram. Ada lengking gema dawai. Itulah warna-warni rasa kehidupan. Ada warna halus suara bahagia, ada warna kasar suara duka. Silih berganti suara itu mengalun, membentuk sebuah irama.

Sobat, begitulah irama hidup. Nikmatilah melodi indahnya. Buatlah tarian syukur dan lantunan sabar. Agar perjalanan hidup benar-benar mengasyikan. Ingatlah Allah tidak akan membebani hambanya dengan apa yang diluar kesanggupannya.

Sumber: irama kehidupan

Sabtu, 24 Oktober 2009

Bidadariku

Betapa banyaknya muslimah yang belum berkesempatan mengungkapkan rasa sayangnya secara utuh. Mereka cantik, salehah, bahkan terpelajar. Tapi karena belum jodoh, ungkapan sayang masih tetap tertahan. “Semoga Allah memudahkan urusan mereka,” ucap yani dalam lamunannya sambil menunggu sang pujaan hati pulang.


Sore itu, suaminya akan pulang kerja lebih awal. Sebagai seorang guru honorer di sebuah STM swasta di sebelah selatan kota yogyakarta, suami yani harus menempuh perjalan 45 menit menggunakan sepeda motor menuju rumahnya yang berada desa pegunungan kali urang.

Enam bulan sudah bahtera rumah tangga ibu asal kota gudeg ini berlayar. Sebuah waktu yang bisa dibilang lama buat ukuran mahasiswa, satu semester. Tapi, buat ukuran rumah tangga bisa dibilang masih sangat muda. Mungkin masih bayi jika diukur dari perjalanan rumah tangga yang bisa buat seumur hidup.

Di dalam penantian kepulangan suaminya, ia berharap sang pujaan hati akan memberikan sebuah kejutan dihari ulang tahunnya yang ke 23. Ia teringat masa-masa kelam yang pernah mereka lalui ketika masih diawal-awal kuliah yang sama-sama terlibat dalam sebuah organisasi dakwah kampus. Mereka pernah di ”sidang” dalam suatu forum yang dihadiri oleh ketua LDK dan Murobbi serta Murobbiyah mereka karena kedekatan mereka yang terlalu berlebihan dimata para aktifis dakwah kampus. Sebuah bait puisi berupa ucapan selamat ulang tahun yang digunakan sebagai barang bukti yang ditulis oleh Yudha untuk yani.

Bismillahirrohmaanirrohiim.

Teruntuk ukhti fillah

Suatu kenikmatan yang sangat berharga dalam hidup ini adalah kasih sayang Allah yang diberikan kepada hamba-Nya. Kasih sayang itu tumbuh dan berkembang hingga ia dapat menyinari setiap hati manusia yang berjumpa dengannya. Senyumnya yang memancarkan cahaya, seakan dapat meredamkan panasnya suhu kehidupan.

Dihari dimana berkurangnya usia ukhti yani, ana mendo’akan semoga pancaran kesolihahanmu senantiasa mewangi menyejukan jiwa.

Keep spirit and smile…..

Yoyakarta, 12 Juni 2005

Dari saudaramu

Yudha Pratama

Akhirnya sidang itu memutuskan Yudha harus tidak aktif dalam organisasi LDK agar terhindar dari fitnah. Mereka lega dan bertekad untuk saling menjaga hubungan dan tidak berkomunikasi lagi. Walau tidak aktif di LDK Yudha tetap terlibat keorganisian mahasiswa hingga ia menjadi ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan.

Sore sudah berlalu, maghribpun tiba, tapi sang pujaan hati tak kunjung pulang. Malam kian larut, tiba-tiba ada dering HP berbunyi “sayang, maafkan mas ya. Malam ini mas ga bisa pulang karena tadi tiba-tiba sepulang kerja mas diminta menggantikan ustadz Abdullah untuk mengisi dauroh di Gunung Kidul dan harus bermalam disana hingga esok subuh”. Sebuah SMS dari sang pujaan hati.

Hidangan special untuk makan malam yang sudah disiapkan sejak sore sudah mulai dingin ditiup dinginya udara malam di pegunungan kali urang. Harapan akan mendapatkan pujian dan kecupan hangat dari sang suami di hari ulang tahunnya sudah mulai pudar dalam sunyinya malam. ”Ya Allah berikanlah kemudahan dan keselamatan setiap aktivitas sang ustadz mudaku, pujaan hatiku, calon ayah dari anak-anaku”. Yani mengakhiri penantian malamnya sambil melangkah menuju kamarnya.

Ketika hendak membaringkan tubuh diatas dipan sederhana itu, tiba-tiba ia terkejut melihat sebuh bungkusan kecil yang ada diatas meja belajarnya. Perlahan ia buka kota kecil yang dibungkus dengan kertas koran seakan mengingatkan kenangan masa-masa aktif di LDK saat agenda tukar kado silang antar departemen.

Bismillah, subhanallah...

Ya Allah, nikmat yang manakah lagi yang akan aku ingkari setelah sekian banyak nikmat yang telah engkau beri. Engkau telah percayakan hamba Mu ini untuk menjadi istri yang menjadi pelipur lara bagi suamiku, penyejuk jiwa saat duka. Ya Allah jadikan kami keluarga yang senantiasa menjadi hamba Mu yang bersyukur. Do’a sujud syukur yani yang di iringi air mata saat ia membaca sebuah surat di dalam kota kado ulang tahunya dari sang suami.

Duhai bidadariku,

Aku bukanlah seorang pangeran tampan yang senantiasa dapat memberimu istana megah,

Aku bukanlah saudagar kaya yang dapat memberimu seluruh isi dunia,

Aku bukanlah seorang ustadz yang senantiasa membimbingmu untuk menemukan ketentramanjiwa.

Aku hanyalah seorang yang senantiasa mencoba memberikan yang terbaik bagi agamanya, bangsanya baru kemudian engkau wahai jelitaku sang bidadari yang Allah hadiahkan dalam hidupku.

Selamat ulang tahun semoga dengan berkurangnya usia ini dapat menjadi hikmah di kemudian hari.

(Yudha Pratama)



Sabtu, 17 Oktober 2009

Indahnya Berprasangka Baik

Dua orang laki-laki bersaudara bekerja pada sebuah pabrik kecap dan sama-sama tekun belajar Islam. Sama-sama mengamalkan ilmunya dalam kehidupan sehari-hari semaksimal mungkin. Mereka acap kali harus berjalan kaki untuk sampai ke rumah guru pengakiannya. Jaraknya sekitar 10km dari rumah peninggalan orangtua mereka.

Suatu ketika sang kakak berdo'a memohon rejeki untuk membeli sebuah mobil supaya dapat dipergunakan untuk sarana angkutan dia dan adiknya, bila pergi mengaji. Allah mengabulkannya, tak lama kemudian sebuah mobil dapat dia miliki dikarenakan mendapatkan bonus dari perusahaannya bekerja.

Lalu sang kakak berdo'a memohon seorang istri yang sempurna, Allah mengabulkannya, tak lama kemudian sang kakak bersanding dengan seorang gadis yang cantik serta baik akhlaknya.

Kemudian berturut-turut sang Kakak berdo'a memohon kepada Allah akan sebuah rumah yang nyaman, pekerjaan yang layak, dan lain-lain. Dengan itikad supaya bisa lebih ringan dalam mendekatkan diri kepada Allah. Dan Allah selalu mengabulkan semua do'anya itu.

Sementara itu, sang Adik tidak ada perubahan sama sekali, hidupnya tetap sederhana, tinggal di rumah peninggalan orang tuanya yang dulu dia tempati bersama dengan Kakaknya. Namun karena kakaknya sangat sibuk dengan pekerjaannya
sehingga tidak dapat mengikuti pengajian, maka sang adik sering
kali harus berjalan kaki untuk mengaji kerumah guru mereka.

Suatu saat sang Kakak merenungkan dan membandingkan perjalanan hidupnya dengan perjalanan hidup adiknya. Dia dia teringat bahwa adiknya selalu membaca selembar kertas saat dia berdo'a, menandakan adiknya tidak pernah hafal bacaan
untuk berdo'a. Lalu datanglah ia kepada adiknya untuk menasihati adiknya supaya selalu berdo'a kepada Allah dan berupaya untuk membersihkan hatinya, karena dia merasa adiknya masih berhati kotor sehingga do'a-do'anya tiada dikabulkan oleh Allah azza wa jalla.

Sang adik terenyuh dan merasa sangat bersyukur sekali mempunyai kakak yang begitu menyayanginya, dan dia mengucapkan terima kasih kepada kakaknya atas nasihat itu.

Suatu saat sang adik meninggal dunia, sang kakak merasa sedih karena sampai meninggalnya adiknya itu tidak ada perubahan pada nasibnya sehingga dia merasa yakin kalau adiknya itu meninggal dalam keadaan kotor hatinya sehubungan do'anya tak pernah terkabul.

Sang kakak membereskan rumah peninggalan orang tuanya sesuai dengan amanah adiknya untuk dijadikan sebuah mesjid. Tiba-tiba matanya tertuju pada selembar kertas yang terlipat dalam sajadah yang biasa dipakai oleh adiknya yang berisi tulisan do'a, diantaranya Al-fatehah, Shalawat, do'a untuk guru mereka, do'a
selamat dan ada kalimah di akhir do'anya:

"Ya, Allah. tiada sesuatupun yang luput dari pengetahuan Mu,
Ampunilah aku dan kakak ku, kabulkanlah segala do'a kakak ku,
bersihkanlah hati ku dan berikanlah kemuliaan hidup untuk kakakku
didunia dan akhirat,"

Sang Kakak berlinang air mata dan haru biru memenuhi dadanya, ternyata adiknya tak pernah sekalipun berdo'a untuk memenuhi nafsu duniawinya.

By. Aidil Haryana

Surat Cinta Minimalis

Kepada Yth.

Calon istri saya, calon ibu anak-anak saya, calon anak Ibu saya, dan calon kakak buat adik-adik saya

di Tempat

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Mohon maaf kalau Anda tidak berkenan. Tapi saya mohon bacalah surat ini hingga akhir, baru kemudian silahkan dibuang atau dibakar. Tapi saya mohon, bacalah dulu sampai selesai.

Saya, yang bernama …… menginginkan Anda …… untuk menjadi istri saya. Saya bukan siapa-siapa. Saya hanya manusia biasa. Saat ini saya punya pekerjaan. Tapi saya tidak tahu apakah nanti saya akan tetap punya pekerjaan. Tapi yang pasti saya akan berusaha punya penghasilan untuk mencukupi kebutuhan istri dan anak-anakku kelak. Saya memang masih kontrak rumah. Dan saya tidak tahu apakah nanti akan ngontrak selamannya. Yang pasti, saya akan selalu berusaha agar istri dan anak-anak saya tidak kepanasan dan tidak kehujanan.

Saya hanyalah manusia biasa, yang punya banyak kelemahan dan beberapa kelebihan. Saya menginginkan Anda untuk mendampingi saya untuk menutupi kelemahan saya dan mengendalikan kelebihan saya. Saya hanya manusia biasa. Cinta saya juga biasa saja. Karena itu, saya menginginkan Anda mau membantu saya memupuk dan merawat cinta ini agar menjadi luar biasa. Saya tidak tahu, apakah kita nanti dapat bersama-sama sampai mati karena saya tidak tahu suratan jodoh saya. Yang pasti, saya akan berusaha sekuat tenaga menjadi suami dan ayah yang baik.

Kenapa saya memilih Anda? Sampai saat ini, saya tidak tahu kenapa saya memilih Anda. Saya sudah sholat istiqaroh berkali-kali, dan saya semakin mantap memilih Anda. Yang saya tahu, saya memilih Anda karena Allah. Dan yang pasti, saya menikah untuk menyempurnakan agama saya, juga sunnah Rasulullah.

Saya tidak berani menjanjikan apa-apa. Saya hanya berusaha sekuat mungkin menjadi lebih baik dari saat ini. Saya mohon, sholat istiqaroh dulu sebelum memberi jawaban pada saya. Saya kasih waktu minimal satu minggu, maksimal satu bulan. Semoga Allah ridho dengan jalan yang kita tempuh ini. Amin..

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

By. Rizza Alhasani

Jumat, 16 Oktober 2009

Bungaku


Di tengah belantara hutan yang menyeramkan di antara binatang-binatang buas dalam lingkungan yang keras yang tak mengenal kasih sayang muncullah setangkai bunga.


Sang bunga tumbuh mekar tertanam di belantara hutan yang luas dan menyeramkan. Sinar matahari membakar tubuhnya, dan ia pun tak mendapatkan tempat berteduh hingga ia terpanggang oleh panas matahari itu tanpa ada yang menolong dan menemaninya. Tubuhnya yang lemah diterjang angin hingga hampir saja angin kencang itu menghempaskan dan mencabutnya hingga ke akar-akarnya.

Bunga itu menggunakan gaun hijau dengan motif batik keemasan yang menandakan kecintaannya pada tanah kelahiran ngayogyakarta. Sejak awal kuliahnya ia sudah terbiasa menggunakan jilbab lebar yang menutupi hampir keseluruh tubuhnya. Hidayah yang ia dapatkan itu membutuhkan perjuangan dan pengorbanan yang sangat besar karena halangan yang ia hadapi adalah berasal dari kedua orang tua dan keluarganya. Allah menghendaki hidayah itu hanya untuk dirinya sendiri dan tidak untuk orang tuanya.

Bunga yang akan menyelesaikan kuliahnya di fakultas kedokteran akhir tahun ini merasakan kerasnya kehidupan tanpa ada orang yang membantu atau teman yang menguatkan hatinya. Ia tumbuh dalam iklim yang kering dimana sedikit sekali dan bahkan nyaris tidak ada nurani dan perasaan. Hingga hari-hari yang ia lalui tanpa kehangatan belaian kasih sayang seorang ibu dan ayah yang ia tinggalkan demi kerselamatan aqidahnya. Akhirnya ia mengazamkan diri untuk mengakhiri kesendirian itu.

Tuhan, esok penyendirain ini akan berakhir, kalau memang Kau perkenankan aku mewujudkan semua rencana kebaikanku maka aku adalah hamba Mu yang paling bersyukur. Namun apabila Kau menghendaki lain, aku percaya Engkau lebih mengetahui apa yang tidak aku ketahui. Entah mengapa ba’da dzikir senjaku, bibir ini bergetar hebat melafalkan munajat yang sudah sekian kalinya ku utarakan kepada Mu. Sebuah ungkapan hati seorang gadis yang sedang bermunajat kepada Kekasinya.

Semua orang mengetahui bahwa gadis normal adalah ibarat sekumpulan emosi yang bergerak, yang kadang bergerak dan kadang tenang termasuk di dalamnya ada naluri cinta. Kebutuhan ini juga ada pada laki-laki, tapi perbedaan antara laki-laki dan perempuan adalah bahwa seringkali laki-laki bisa mengendalikan dan mengalahkan emosi sedang perempuan sering kali tidak mampu untuk itu. Laki-laki bisa memenuhi kebutuhan ini dengan menikahi perempuan yang dicintainya dan tidak ada kesulitan baginya untuk itu. Sedang perempuan akan terus tersiksa menanti pelamar yang datang mengetuk pintunya. Jika Allah mengujinya dengan cinta, ia tidak bisa datang sendiri untuk melamar orang yang dicintainya walau secara agama tidak ada larangan tentang itu, dia juga tidak akan gegabah mengutarakannya pada siapapun. Dan jika ia digosipkan mencintai seseorang lelaki, maka ia akan dianggap sebagai gadis yang menyimpang dari tabiatnya, meski sebenarnya tidaklah demikian.

Sejak kecil seorang perempuan memperhatikan bentuk dan penampilannya lebih dari seorang laki-laki. Allah swt menciptalkan Adam dari tanah dan menciptakan Hawa dari Adam. Maka laki-laki berkaitan dengan bumi dan perempuan berkaitan dengan laki-laki. Hal ini berarti bahwa laki-laki berkaitan dengan benda mati sehingga perasaanya tidak dominan sedangkan perempuan berkaitan dengan suatu yang bernyawa sehingga perasaannyalah yang dominan.

Ini yang merupakan sebab adanya perbedaan cara mengukuhkan prestasi antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki membuktikan dan mengaktualisasikan dirinya dengan bekerja sedangkan perempuan mengaktualisasikan dirinya dengan melakukan hubungan sosial dengan orang lain. Oleh karena itu, kita akan mendapati dalam dunia pendidikan yang bercampur (antara perempuan dan lakik-laki), seorang gadis berusaha menarik perhatian dengan keanggunan dan kecantikannya sedangkan pemuda menarik perhatian dengan prestasinya diatas rekan-rekannya.

”Hatiku benar-benar biru. Kuberharap kelam segera menjalari semesta agar sujud panjangku dapat segera memapas ujung senyapnya. Di senja ini, ketika adzan besenandung dari masjid tua di seberang hutan cemara, hatiku membiru memandang kumpulan kelelawar yang berbaris panjang mengukir mega. Bahkan merekapun menghormati panggilan Nya pulang sejenak ke balik bukit sebelum mencicit malam yang dipandang siang. Aku menagis untuk kesekian kalinya...” Bunga mencoba menyelami hikayat hidupnya.



Minggu, 11 Oktober 2009

Bunda, mengapa engkau menangis?

Hanya inilah kelemahan yang dimiliki wanita, walaupun sebenarnya air mata ini airmata kehidupan. Maka dekatkan dirimu kepada sang ibu kalau mereka masih hidup karena dikakinyalah kalian akan menemukan syurga.


Suatu ketika ada seorang anak laki-laki bertanya pada ibunya.

Mengapa bunda menagis? Tanaya lelaki kecil itu. Pertanyaan dari seorang anak yang sangat ia sayangi, seakan kebahagian di dunia laksana syurga setelah sekian lama pernikahannya dengan seorang ikhwan sejak kuliah dan aktif berdakwah di kampus. Tapi Allah menghendaki lain, 5 tahun pernikahanya baru ia dikarunia seorang pewaris negeri. Seorang anak yang sholih.

Karena ibu seorang wanita nak. Jawab ibu simpel walau matanya masih berkaca-kaca.

Aku tidak mengerti bu, jelas sang anak heran.

Sang anak sering melihat ibunya menagis tanpa ada alasan yang dapat diterima oleh akal sang anak.

Sang bunda tersenyum kemudian ia memeluk anaknya dgn erat. Di dalam hati berdo’a. Ya Allah, alhamdulillah karena Engkau mempercayai diriku yang rendah ini untuk memperoleh karunia terbesar dalam hidupku. Ku mohon Ya Allah, jadikan buah kasih hambamu ini orang yang berarti bagi sesamanya dan bagi diri Mu. Jaganlah Engkau berikan jalan yang lurus dan luas membentang baginya tapi berikan pula jalan yang penuh berliku dan duri agar ia dapat meresapi kehidupan seutuhnya. Sekali lagi kumohon Ya Allah, sertailah anak ku dalam setiap langkah yang ia tempuh. Jadikanlah ia sesuai kehendak Mu yaitu anak yang sholih.

Anakku kamu memang tidaka akan pernah mengerti, jawab Sang ibu sambil membelai rambut anaknya.

Karena tidak puas denga jawaban sang ibu, ke esokan harinya ia berdiskusi dengan ayahnya.

Ayah menagap Bunda menangis? Tanya sang anak.

Ibu tiba-tiba menagis tanpa ada sebab, membuat aku tak mengerti, paparnya penuh heran.

Semua wanita memang menagis tanpa alasan. Hanya itu jawaban sang ayah.

Hari-hari berlalu, tahun silih berganti hingga sang anak tumbuh remaja. Suatu malam ia bermimpi dan bertanya pada Tuhannya. Ia bertanya pada Tuhannya:

Tuhan menjawab: saat kuciptakan wanita aku jadikan utama.

Kuciptakan bahunya agar mampu menahan seluruh beban dunia dan isinya, walaupun bahu itu harus cukup nyaman dan lembut untuk menahan kepala bayi yang sedang tidur.

Kuberikan wanita kekuatan untuk dapat melahirkan dan mengeluarkan bayi dari rahimnya serta merawatnya, walau seringkali ia kerap menerima cerca dari anaknya.

Kuberikan keperkasaan yang akan membuatnya bertahan pantang menyerah saat semua orang sudah putus asa.

Pada wanita Ku berikan kesabaran untuk merawat keluarganya, walau letih, sakit, lelah tanpa berkeluh kesah.

Kuberikan kepada wanita perasan peka dan kasih sayang untuk mencintai semua anaknya dalam kondisi dan situasi apappun, walau tidak jarang anak-anak itu melukai perasaan dan hatinya.

Perasan ini pula yang akan memberikan kehangatan pada bayi-bayi yang terkantuk menahan lelap. Sentuhan inilah yang akan memberikan kenyamanan saat ia didekap dengan lembut olehnya.

Kuberikan pada wanita kekuatan untuk membimbing suaminya melalui masa-masa sulit dan menjadi pelindung baginya. Sebab bukankah tulang rusuk yang melindungi setiap hati dan jantung agar tidak terkoyak.

Kuberikan wanita kebijaksanaan dan kemampuan untuk memberikan pengertian dan menyadarkan bahwa suami yang baik adalah agar tidak pernah melukai istrinya, walau sering kali kebijaksaan itu akan menguji setiap kesetiaan yang diberikan pada suami agar tetap berdiri sejajar saling melengkapi dan saling menyayangi.

Dan akhirnya Kuberikan ia air mata agar dapat mencurahkan perasaannya. Inilah yang khusus Kuberikan kepada wanita agar dapat digunakan kapanpun ia inginkan. Hanya inilah kelemahan yang dimiliki wanita, walaupun sebenarnya air mata ini airmata kehidupan. Maka dekatkan dirimu kepada sang ibu kalau mereka masih hidup karena dikakinyalah kalian akan menemukan syurga.


Jumat, 09 Oktober 2009

Mawar untuk Ibu


Seandainya engkau dapat menyaksikan kesuksesan anakmu ini, maka akan ku buat kau tersenyum pada hari ini. Seandainya engkau ingin berjumpa dengan ku setiap hari, maka kan kucari keajaiban agar aku bisa pulang balik kuliah dari palembang-Jogja. Selamat jalan Umi... Do'a mu dulu senantiasa menjadi inspirsi hidup ini.


Suatu ketika sorang pemuda berhenti di toko bunga untuk memesan seikat karangan bunga yang akan di paketkan kepada sang ibu yang tinggal sejauh 250 KM darinya. Begitu keluar dari mobilnya ia melihat seorang gadis kecil berdiri di trotoar jalan sambil menagis tersedusedu.

Kenapa engkau menangis? Pemuda itu menyapa dengan ramah.

Saya ingin membeli setangkai mawar merah untuk ibu saya, Om. Jawab sang gadis kecil

Tapi... saya cuma punya uang 500 saja, sedangkan harga bunga mawar itu seribu rupiah. Tambahnya sambil mengusap air mata yang berderai di pipinya.

Peria itu tersenyum menatap sang gadis kecil dan perlahan mendekatinya. Rasa sayang yang tumbuh di sanubarinya telah tertanjap kokoh. Begitulah sebuah kesuksesan seorang ibu dalam mendidik putranya hingga ia dewasa. Sang bunda telah mengajari arti cinta dan kasih sayang, perjuangan dan pengorbanan, kejujuran dan kebenaran, ketulusan dan keikhlasan, kesabaran dan ketegaran, serta keadilan dan kepedulian. Walau jauh di mata tapi sang bunda terasa dekat di hatinya.

Adik, ayo ikut saya. Saya akan membelikanmu bunga yang kau inginkan. Bujuk sang pemuda.

Kemudian ia membelikan gadis itu setangkai mawar merah sekaligus memesan karangan bunga untuk dikirimkan kepada ibunya.

Ketika selesai, pemuda itu menawarkan mengantarkan gadis kecil itu pulang kerumah.

Gadis kecil itu melonjak gembira. Wajah cantiknya yang terlihat sayu dirundung sedih tiba-tiba tampak cerah laksana mawar yang sedang yang mekar di pagi hari.

Ya tentu saja Om, sahut sang gadis kecil.

Tapi... maukah Om sebelumnya mengantarkan ke tempat ibu saya. Pintanya penuh harap.

Baik... Jawab sang pemuda.

Mereka berdua menuju ke tempat yang ditunjukan gadis kecil itu, yaitu pemakaman umum.

Dan gadis kecil itu pun meletakan setangkai mawar di atas kuburan yang masih basah.

Hati Pemuda itu terenyah dan teringat sesuatu. Air matanya tak terasa menetes dari mata hingga membasahi wajah tampannya.

Akhirnya ia bergegas kembali ke toko bunga tadi dan membatalkan paket kirimannya. Dan ia pun menyadari jarak bukan menjadi batasan untuk mencurahkan kasih kepada orang yang kita cintai. (digubah dari Rose for Mama – C.W.McCall)



Rabu, 07 Oktober 2009

Apakah ia jodoh ku?

Ya Yobb,
Kalau memang ia jodohku, dekatkanlah hati kami
Kalau memang ia bukan jodohku, berikanlah hamba ini kekuatan menghadapi takdir-Mu


Senyum manis yang terukir menghiasi raut muka seorang ustadz muda ketika menghadap sang murobbi yang senantiasa menemaninya saat-saat relung hati merah merona dan berbau segar melati sukma hingga saat-saat gundah gulana menerpa pun sang murobbi menjadi penetramkan jiwa.

“Ustazd, Insya Allah tanggal 22 November 2008 kedua orang tua ana mau datang ke Yogjakarta untuk mengadiri Wisuda ana.” Yudha memulai pembicaraan.

Ustadz Abdullah tersenyum. “Alhamdulillah Allah telah memberikan yang terbaik untuk antum.” Ia benar-benar ikut merasakan kebahagiaan sang mutarobbinya yang telah berjuang di akhir-akhir masa studinya yang hampir habis ditelan aktivitas dakwah kampus.

“Ustadz, kenapa ustadz termenung?” Tanya Yudha.

“Ya, afwan ana teringat ketika antum 3 tahun yang lalu saat ana baru mengenal antum. Sekarang antum jauh lebih dewasa dan bijaksana dalam menyelesaikan permasalahan.” Ustadz Abdullah memulai pembahasan permasalahan mutarobbinya yang telah menyerahkan sebuah surat yang berisikan biodata sepekan yang lalu. Ustadz Abdullah benar-benar yakin bahwa mutarobbinya sudah siap untuk menyempurnakan separuh agamanya.

“Bagai mana Ustadz? Ana berharap pekan ini sudah ada kepastian tentang calon pendamping ana, karena sekalian ana mau memperkenalkannya kepada kedua orang tua ana yang akan datang dua pekan lagi dari lampung untuk menghadiri wisuda ana.”

“Insya Allah sudah ana siapkan akh.” Kata sang ustadz sambil menyerahkan satu buah map merah jambu yang berisikan biodata seorang akhwat.

“Hanya satu mapnya ustadz?” Tanya Yudha heran.

“Ya, akhi.” Jawab sang ustadz simpel dan penuh wibawa.

“Apakah boleh ana buka mapnya sekarang ustadz?” Tambah Yudha.

“Tafadlol akh. Bila antum berkenan, biodata antum langsung ana kirimkan ke pihak akhwat itu.” Ustadz Abdullah menyakinkan Yudha.

Taksabar rasa hati ingin ada seorang putri yang mencintainya dan menemaninya dalam proses kedupan dakwahnya. Yudha berdo’a tulus pada Robbnya, minta jodoh yang terbaik untuknya.

Kehidupan ini akan terasa gersang jika tidak ada kesenangan dan kebahagiaan yang menunjang. Kebahagiaan hidup yang bersifat ruhaniyah dari seorang suami merupakan kebutuhan yang tidak didapati kecuali pada diri sang istri yang menjadi pasangan hidupnya. Adapun Allah menciptakan isteri adalah supaya sang suami tentram padanya.

Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia ciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya. Juga dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih sayang… (Qs. Ar-Ruum:21)

Pelan-pelan Yudha membuka lembar biodata sang akhwat. Ketika ia membaca sebuah nama Riski Cahyani, dadanya berdebar dan jantungnya berdetak sangat kencang. Seorang akhwat yang dahulu pernah bertengger dihatinya. Yudha meminta beberapa hari untuk mempertimbangkannya pada sang ustadz.

Berhari-hari Yudha mempertimbangkanya. Sholat istikharahnya pun bukan untuk memilih antara akhwat yang satu dengan akhwat yang lain. Tetapi ia hanya butuh keyakinan ya atau tidak, karena ustadz Abdullah tidak memberikan alternatif yang lainnya. Yudha hanya sami’an wa tho’atan, ia tidak mempermasalahkan keputusan yang ambil oleh sang murobbi.

Salah satu yang membuat Yudha ragu adalah Yani (Riski Cahyani) merupakan rekan kerjanya lebih 2 tahun ketika masih aktif dalam komunitas dakwah kampus. Bukan hanya sekedar dekat, bahkan mereka pernah dipermasalahakan oleh ikhwah yang lainya hingga salah satu diantara mereka harus di pindah amanahkan dari dakwah kampus agar terhindar dari fitnah.

Yudha bersungguh-sungguh membersihkan niatnya. Ia mengembalikan semuanya kepada Sang Penguasa Hati. Segala aib yang pernah ia lakukan sudah tidak bisa lagi dihapus untuk kemudian digantinya dengan segala kebaikan. Semua sudah terjadi dan itulah kehendak Allah ketika menghendaki hambanya menjadi manusia yang baik. Allah telah menempatkan aib-aibnya agar dijadikannya pelajaran. Yudha berharap dengan niat yang terus menerus diperbaharui akan menambah barakah dan memperbaiki kesalahan niat sebelumnya.

Akhirnya Yudha memutuskan untuk ta’aruf dilanjutkan ke pihak akhwat. Proses ta’aruf tidak berlalu lama karena sang akhwat sebenarnya masih menyimpan rindu dihati dan senantiasa berdo’a agar Allah memberikan yang terbaik baginya.

***

“Terimakasih, engkau mau menikah denganku,” Kata Yudha kaku.

Disamping Yudha, seorang wanita cantik sedang tertunduk malu. Yani mempermainkan jemarinya.

“Justru aku yang berterimakasih karena engkau mau menggenapkan setengah dinku.”

Yudha dan Yani seperti sedang bermimpi, harapan yang tersimpan dalam lubuk hati 3 tahun silam menjadi nyata.

“Ijinkan Aa, mengecup nashiyahmu dan berdo’a untuk kita.”

Barakallahu likulli waahidin minnaa fii shaahibihi.”

Yani mengamininya didalam hati, ia merasakan kebahagiaan yang belum pernah ia pernah rasakan.

Kedua insan itu bertatapan lalu tertawa kecil mereka berderai. Vila Adem Kaliurang diwarnai desiran cinta yang dapat mengubah dinginnya suhu pegunungan menjadi hangat dan kedamaian. Udara dipuncak yang begitu dingin menjadi teman pendingin panasnya api cinta mereka yang sedang salah tingkah. Satu sama lain bingung mau bicara apa.

Yudha melirik sebuah bungkus kurma di meja. Ikhwan itu menawarkannya pada Yani. Yani menerima sebiji kurma dari Yudha dan dengan rasa malu memakannya.

“Aa, mau?” Tanya Yani yang melihat suaminya tidak ikut makan.

Yani memanggilku Aa? Indah sekali.

“Aku mau jika kurma itu dari tanganmu.”

“Aa Yudha mau minta ku suapi?” Yani tersipu. Dengan ragu ia mengulurkan tangannya pada bibir suaminya. Lelaki itu menatap istrinya.

“Kau semakin cantik saja,” kata Yudha tulus.

Semburat merah jambu mewarnai pipi Yani yang putih mulus. Wanita itu tidak bisa berkata apa-apa. Yudha merapatkan duduknya. Tiba-tiba saja suhu kamar berubah hangat dan bertambah hangat. Debaran hati kedua hamba Allah itu berlalu begitu indah.

“Aku cinta padamu,” bisik Yudha hangat. Tangannya menggenggam erat jemari Yani.

Yudha lupa, begitupun Yani, mereka belum melaksanakan sholat sunat dua rakaat yang merupakan salah satu tuntunan pada malam zafaf. Yudha menggandeng tangan Yani dan mengajaknya wudlu.

Mereka menikmati shalat itu, setiap takbir dan gerakan Yudha diikuti oleh Yani dengan memenuhi tartibnya. Shalat dua rakaat untuk memohon agar jalinan kasih dan sayang antara kedua mempelai dapat bersemi dan mengakar kuat di dalam jiwa. Sedangkan benih-benih kebencian dapat dimatikan sebelum tumbuh. Diharapkan juga agar barakah-Nya memenuhi kehidupan keluarga mereka.

Baru kali ini Yani mendengarkan lantunan kalam Illahi terucap dari bibir Yudha. Suaranya indah karena bacaannya mengikuti setiap tajwidnya.

Yudha berdo’a dan Yani mengamini dengan penuh harap. Yudha membalikan badannya menghadap Yani. Sang istri menjulurkan tangannya meraih tangan kanan Yudha dan menciumnya. Mereka mengharap keberkahan yang besar dari Illahi.



Senin, 05 Oktober 2009

Perahu Perak ((Batam Pos, 13 September 2009)


Malam itu, kabut yang mulai turun di muara sungai menjadi saksi atas pinanganmu. Ranum bulan yang mengitip malu di balik arak-arakan mega, laksana wajah sang Putri Ayu dari negeri Sriwijaya ketika sang pangeran impian menambatkan perahu peraknya di hati sang putri mahkota. (by. Guntur Alam)


Ketika malam telah jatuh ke pelukkan pekat, aku selalu membuka jendela kamarku yang hinggap di muara sungai. Menandai gelap yang tengah bertahta. Membuka lipatan-lipatan luka yang masih tersusun rapi di dalam laci hatiku. Melukis kembali sketsa-sketsa wajahmu yang rupawan. Maka, rindu ini semakin mekar. Menyentak kuncup madah yang telah lama menggigil dalam duka. Lewat malam, aku mengisahkan sendiri derai-derai luka ini menyatu dalam senyap.

Di sudut kamar ini, aku membingkai wajahmu dalam kenangan. Membiarkan wajah-wajah polos yang kau tinggalkan bertanya dan menguak kuncup-kuncup luka. Mengorek dari tiap sudut parasmu atas masa yang telah retak antara kita. Luka pada jiwaku bertambah parah. Membentuk danau luka yang bernanah. Menyalinkan dendam yang lahir dari rahim gerhana. Menghempas aku ke pusaran kelam.

“Apa ini bapak, mak?” itu tusukkan luka yang dihujamkan anak jantanmu. Memeras airmata yang telah kering dari sumur retinaku. Tetapi, bibir dusta tetap saja aku semaikan. Karena aku masih mencintaimu.

“Ya, sayang. Tampan bukan, seperti dirimu.” Tohokku pada jantungku sendiri. Untaian kata yang tergesa aku ralat dari catatan sejarah. Karena kenangan yang kau tinggalkan telah aku kubur di ladang hati. Kubenamkan bersama diriku yang terlempar ke dalam jurang kenistaan.

Anak jantanmu tersenyum bangga. Jujur senyumnya serupawan senyummu. Akan tetapi, aku tak bisa melukiskan dengan sempurna senyummu kembali. Sebab, terlalu lama senyum itu tak hadir. Senyum yang dulu menggetarkan seluruh jiwaku. Memekarkan sekuntum bunga yang tumbuh di jantungku. Menguak batas-batas impian, menghujam ke langit ketidakmungkinan. Kala itu, aku menggigil ditengah takutnya akan ketinggian harapan yang kau untai dari bibir manismu.

“Kita akan melayarkan perahu perak itu,” tunjukmu pada perahu berkilau yang tertambat di muara sungai depan rumahku. Anganku melayang ke awang-awang, mengepakkan sepasang sayap yang tumbuh berlahan.

“Aku akan memegang dayungnya dan membuat perahu itu membelah sungai Lematang,” tambahmu, semakin membuatku menggelinjang. Lupa bumi yang masih terpijak. Hingga kabut yang mulai turun tak terasa. Mataku hidup dalam binar.

“Aku akan sangat bahagia menjadi pendampingmu melayarkan perahu perak itu,” jawabku dengan semu merah yang mencumbu pipi. Mematangkan putik yang menjelang buah. Malam itu, kabut yang mulai turun di muara sungai menjadi saksi atas pinanganmu. Ranum bulan yang mengitip malu di balik arak-arakan mega, laksana wajah sang Putri Ayu dari negeri Sriwijaya ketika sang pangeran impian menambatkan perahu peraknya di hati sang putri mahkota.

* * *

Aku ingat dengan jelas, kenangan manis itu masih tersusun rapi di laci hatiku. Wajah rupawanmu gagah perkasa, bak pangeran dari negeri Jawa yang hendak menyunting putri melayu dari kerajaan Kebon Undang1 Wajahku memerah, meronakan semua harapan seperti ranumnya delima. Anganku melayang jauh ke negeri awan, bersama tetabuhan suara musik Melayu yang menyambut pengantin baru. Duhai, bahagia tiada terkira hatiku. Bak raja dan ratu dalam sehari, kita duduk berdua dengan manis di pelaminan kayu ukir.

Dari tempat duduk sang ratu-lah, aku mulai mengukir semua mimpi dan harapan akan perahu perak kita. Kau yang akan mendayung, sedang aku akan menimbah air yang mulai masuk di dalamnya. Menyiapkan makanan cinta tiap kau lapar, menyediakan diri sebagai pelayan.

Malam yang kudamba telah menjelang, degup di dada tak terlukiskan. Romantisnya makan berdua di meja makan. Ada lirik-lirik malu tapi mau yang ku sembunyikan. Tawa canda dilemparkan saudara yang makan bersama. Aduhai, jantungku makin berdegup kencang ketika malam semakin merangkak pekat.

Pada malam aku minta berhenti sejenak, karena aku benar-benar tak bisa membuat jantungku senyap. Tetapi, waktu merangkak jua. Dengan gagah dan penuh kehangatan kau menggenggam tanganku, membimbingku menuju perahu perak kita. Sejujurnya, aku gemetar. Kali pertama dalam hidupku, akan satu ranjang dengan lelaki. Dan lelaki itu dirimu, pangeran rupawan yang telah mencuri diriku dari raja ayahku.

Kubiarkan saja, bolham temaram. Mugkin dia jengah dengan lantai kamar. Detik seakan berhenti sejenak. Pun jangkrik yang acap kali menjadi penjaga malam. Kau mengurai tali tambang yang mengikat perahu perak pada sebatang koeni yang selalu menghasilkan buah yang ranum lagi harum. Menggulung berlahan tali temali itu, satu persatu. Aku diam menunggu dengan gigil. Mau berangkul malu. Waktu kujadikan saksi atas peritiwa ranum ini, melukiskan indahnya mendayung perahu bersama. Aku berusaha menjadi pelayan terbaikmu. Membantumu merangkaikan kenangan terindah dalam perahu perak kita. Dalam anganku, madu ini akan mengikat kita sehidup semati.

Tak kulupa wahai lelaki rupawan. Detik indah yang baru saja kita rangkai akan berubah jadi petaka. Baru saja aku menjejakkan kakiku kembali di bumi, kau telah menghempaskan aku ke lantai perahu kita. Wajah rupawanmu murka, bergurat drakula yang muncul dari bibir gelap. Aku gagap, tak tahu petaka apa yang telah tergelar.

“Kau tak perawan lagi!” hardikmu, menghujamkan pisau berkarat di jantungku. Aku ternganga. Tak percaya dengan kata yang baru saja kau luncurkan. Dalam cemas, aku menggeleng kuat. Menyangkal duga yang kini besar di dada perkasamu.

“Demi tuhan, aku belum pernah melakukannya,” belaku. Kali ini jantungku lebih kencang berdetak. lebih keras dari talu-taluan musik Melayu yang pagi tadi menghantar kita duduk di singgasana raja dan ratu.

“Wanita jalang!” makimu, memamah habis jantungku. Tak kuduga, kata-kata hina itu bisa terluncur dari mulut manismu. Bibir yang dulu kerap kali meluncurkan kata-kata cinta penuh rayuan, kini berubah pedas tak kepalang.

“Lelaki mana yang mendahuluiku?” tanyamu dengan wajah seperti rahwana murka. Tangan lembutmu yang tadi menggenggam jemariku mesra, kini mencengkram kuat pipiku tanpa belas kasihan. Aku mengeryit menahan sakit di pipi, jantung dan bawah tubuhku. Mataku berurai permata hangat, kau tak peduli. Bahkan sekarang kau menjambak rambutku, menengadahkan wajah bulat telurku.

“Tidak pernah ada laki-laki lain, bang,” jelasku dengan ketakutan yang telah bertahta di singgasana waktu. Kugigit isak yang mulai berlayar di bibirku. Tak tahu, mungkin teriakanmu seperti halilintar di malam purnama, pintur kamar kita telah digendor dengan suara keras. Aku menciut dalam isak.

“Bohong!” makimu, aku tak sanggup lagi menahan gerimis di tangkai awan. Akhirnya, kubiarkan saja dia jatuh berlahan di pipiku. Membentuk sepasang sungai kembar yang membelah kenangan, berharap perahu perak masih bisa berlayar.

“Sungguh, bang.”

“Plak..!” tangan perkasamu menampar pipiku. Aku meringis. Tak pernah sekalipun aku menghadirkan bayangan dalam otakku, kalau tangan lembutmu yang acapkali membelai pipiku dengan mesra, kini membelainya dengan keras.

Aku sesugukkan. Dalam sejenak, malam senyap. Angin terdengar bertiup sendiri. Daun-daun bambu rebah bersama rumput. Seakan tak mau menjadi saksi atas malam kelabu. Dalam sinar kamar yang tak lagi temaram, kau bergegas membungkus tubuh dengan helai-helai kain kebanggaan. Aku terdiam, ketika tanganmu dengan kasar melempar tali temali perahu perak ke tubuhku. Setelah aku mengikat kembali perahu itu dengan sempurna, kau membuka pintu kamar dengan murka.

“Ada apa?” tanya itu memyambut wajahmu yang menyembul dari balik daun pintu kamar kita. Wajah cemas seorang wanita paruh baya, seorang wanita yang sejak siang tadi resmi kupanggil sebagai emak.

“Tanya saja ke wanita jalang itu!” tunjukmu dengan muka merah padam. Aku menenggelamkan wajah dalam lipatan duka.

“Kenapa, nak?” wanita itu memelukku dengan hangat. Tangannya mengusap pundakku. Seakan ingin menguatkan diriku yang tengah gulana. Tak tahu musabab apa yang membuat lelaki rupawan murka.

“Aku tak tahu, mak,” desisku. Mengatakan yang sejujurnya. Karena aku benar-benar tak tahu gerangan apa yang telah membuat lelaki rupawan menjadi marah. Mengumpat dan mencaci di malam yang seharusnya manis bagai gula.

“Wanita jalang!”, makinya kembali, “dia sudah tak perawan lagi!” tunduhnya kembali. Aku tercekat. Pun dengan wajah-wajah yang hadir di ruang itu. Sepucat bulan pasi aku menggeleng. Bibirku gemetar.

“Lihat saja sprai kami, mak! Tak ada setetes darah pun, itu tandanya dia tak perawan lagi!” murkanya menjadi-jadi. Aku menciut bagai siput, seperti kuncup-kuncup doa yang memutih. Kembali dalam pasi.

Wanita itu bergegas menuju ranjang yang masih kusut masai, bertanda tadi ada perahu perak yang berlayar di sana. Dengan gemetar dia membentang sprai itu, dan matanya rabun menatap nanar. Tak setitik pun tanda keperawanan telah dilepas di sana.

Kuingat selalu wahai lelaki rupawan. Tiba-tiba saja wajah emakmu berubah saga, mengelam murka yang tertahan. Satu persatu kalian meninggalkanku. Sendiri. Bersama senyap kuarungi malam, tangis menjadi kawan setia yang duduk bersama. Perahu perak yang baru saja kau layarkan, telah kau tambatkan kembali. Lantaran kau duga diriku telah pernah melayarkannya dengan pendayung lainnya.

Sungguh lelaki rupawan, aku tak pernah berdusta akan ucapanku. Tak seperti dirimu yang ternyata penipu. Dulu, kau janjikan aku angan-angan setinggi awan. Tetapi, kini kau hempaskan aku ke dasar terendah dari magma. Hanya karena tak kau temui setitik bukti keperawanan di layar perahu kita. Kau pulangkan kembali aku kepada sang empu. Tak ada malu lagi yang bisa kulukiskan selain cibiran dari adat, gadis tak perawan dipulangkan suami setelah malam pertama. Dendamku tak akan pernah sudah kepadamu!

* * *

Ketika malam telah jatuh ke pelukan senyap. Aku akan membuka jendela kamarku. Menatap ke arah muara sungai, menandai gelap yang tengah bertahta. Membuka lipatan-lipatan luka yang tersusun rapi di laci hatiku. Pada satu pokok koeni, kutatap masygul perahu perakku. Telah tertambat sekian lama di sana, lapuk dimamah usia yang tak hendak berkawan.

Luka pada jiwaku bertambah parah. Berdarah dan bernanah menjadi sungai dendam yang tak berkesudahan. Tenang di permukaannya tetapi menyimpan pusar arus yang deras di dalamnya.

Telah kukubur di tanah orang mati, wahai lelaki rupawan. Penolakanmu atas hasil pelayaran pertama kita, dua wajah polos yang lahir bersama, hanya beberapa detik menjadi jeda mereka. Dugamu bertambah-tambah, ada pendayung lain selain dirimu. Katamu, tak mungkin pelayaran pertama menghasilkan tangkapan apalagi dua bersamaan. Kusumbat telingaku atas dugamu, tubuhku yang berdarah-darah karena memperjuangkan anak jantanmu tak begitu sakit ketimbang dadaku yang nyeri.

Demikianlah kini. Bertahun-tahun lipatan kenangan itu telah usang tapi tidak pernah luntur. Ia adalah luka yang hendak aku kubur, bersama jasadmu yang selalu kurindu. Tetapi, dendamku padamu tak akan surut. Pada malam yang jatuh dalam pelukan pekat, aku kirim kutukkan untukmu; kau tenggelam bersama perahu perak kebanggaanmu. Karena kau harus tahu; perahu perakku hanya pernah kau sentuh!***