Jumat, 16 Oktober 2009

Bungaku


Di tengah belantara hutan yang menyeramkan di antara binatang-binatang buas dalam lingkungan yang keras yang tak mengenal kasih sayang muncullah setangkai bunga.


Sang bunga tumbuh mekar tertanam di belantara hutan yang luas dan menyeramkan. Sinar matahari membakar tubuhnya, dan ia pun tak mendapatkan tempat berteduh hingga ia terpanggang oleh panas matahari itu tanpa ada yang menolong dan menemaninya. Tubuhnya yang lemah diterjang angin hingga hampir saja angin kencang itu menghempaskan dan mencabutnya hingga ke akar-akarnya.

Bunga itu menggunakan gaun hijau dengan motif batik keemasan yang menandakan kecintaannya pada tanah kelahiran ngayogyakarta. Sejak awal kuliahnya ia sudah terbiasa menggunakan jilbab lebar yang menutupi hampir keseluruh tubuhnya. Hidayah yang ia dapatkan itu membutuhkan perjuangan dan pengorbanan yang sangat besar karena halangan yang ia hadapi adalah berasal dari kedua orang tua dan keluarganya. Allah menghendaki hidayah itu hanya untuk dirinya sendiri dan tidak untuk orang tuanya.

Bunga yang akan menyelesaikan kuliahnya di fakultas kedokteran akhir tahun ini merasakan kerasnya kehidupan tanpa ada orang yang membantu atau teman yang menguatkan hatinya. Ia tumbuh dalam iklim yang kering dimana sedikit sekali dan bahkan nyaris tidak ada nurani dan perasaan. Hingga hari-hari yang ia lalui tanpa kehangatan belaian kasih sayang seorang ibu dan ayah yang ia tinggalkan demi kerselamatan aqidahnya. Akhirnya ia mengazamkan diri untuk mengakhiri kesendirian itu.

Tuhan, esok penyendirain ini akan berakhir, kalau memang Kau perkenankan aku mewujudkan semua rencana kebaikanku maka aku adalah hamba Mu yang paling bersyukur. Namun apabila Kau menghendaki lain, aku percaya Engkau lebih mengetahui apa yang tidak aku ketahui. Entah mengapa ba’da dzikir senjaku, bibir ini bergetar hebat melafalkan munajat yang sudah sekian kalinya ku utarakan kepada Mu. Sebuah ungkapan hati seorang gadis yang sedang bermunajat kepada Kekasinya.

Semua orang mengetahui bahwa gadis normal adalah ibarat sekumpulan emosi yang bergerak, yang kadang bergerak dan kadang tenang termasuk di dalamnya ada naluri cinta. Kebutuhan ini juga ada pada laki-laki, tapi perbedaan antara laki-laki dan perempuan adalah bahwa seringkali laki-laki bisa mengendalikan dan mengalahkan emosi sedang perempuan sering kali tidak mampu untuk itu. Laki-laki bisa memenuhi kebutuhan ini dengan menikahi perempuan yang dicintainya dan tidak ada kesulitan baginya untuk itu. Sedang perempuan akan terus tersiksa menanti pelamar yang datang mengetuk pintunya. Jika Allah mengujinya dengan cinta, ia tidak bisa datang sendiri untuk melamar orang yang dicintainya walau secara agama tidak ada larangan tentang itu, dia juga tidak akan gegabah mengutarakannya pada siapapun. Dan jika ia digosipkan mencintai seseorang lelaki, maka ia akan dianggap sebagai gadis yang menyimpang dari tabiatnya, meski sebenarnya tidaklah demikian.

Sejak kecil seorang perempuan memperhatikan bentuk dan penampilannya lebih dari seorang laki-laki. Allah swt menciptalkan Adam dari tanah dan menciptakan Hawa dari Adam. Maka laki-laki berkaitan dengan bumi dan perempuan berkaitan dengan laki-laki. Hal ini berarti bahwa laki-laki berkaitan dengan benda mati sehingga perasaanya tidak dominan sedangkan perempuan berkaitan dengan suatu yang bernyawa sehingga perasaannyalah yang dominan.

Ini yang merupakan sebab adanya perbedaan cara mengukuhkan prestasi antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki membuktikan dan mengaktualisasikan dirinya dengan bekerja sedangkan perempuan mengaktualisasikan dirinya dengan melakukan hubungan sosial dengan orang lain. Oleh karena itu, kita akan mendapati dalam dunia pendidikan yang bercampur (antara perempuan dan lakik-laki), seorang gadis berusaha menarik perhatian dengan keanggunan dan kecantikannya sedangkan pemuda menarik perhatian dengan prestasinya diatas rekan-rekannya.

”Hatiku benar-benar biru. Kuberharap kelam segera menjalari semesta agar sujud panjangku dapat segera memapas ujung senyapnya. Di senja ini, ketika adzan besenandung dari masjid tua di seberang hutan cemara, hatiku membiru memandang kumpulan kelelawar yang berbaris panjang mengukir mega. Bahkan merekapun menghormati panggilan Nya pulang sejenak ke balik bukit sebelum mencicit malam yang dipandang siang. Aku menagis untuk kesekian kalinya...” Bunga mencoba menyelami hikayat hidupnya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar