Senin, 30 November 2009

aku hanya ingin kau tersenyum

Beri aku kesempatan sekali lagi untuk mengenangmu

Dosakah bila itu berlebihan?

Ah tidak,

Aku hanya ingin melihatmu tersenyum

Aku ingin kau hadir disetiap kebahagiaanku

D isaat toga bertengger di kepalaku

Bukankah kau ingin bersamaku berkeliling jogja?

Kau tersenyum manis saat aku bercerta tentang kota gudeg

Walau ku tahu berat hatimu jauh dariku

Ibu,

Setahun silam anakmu menangis disaat toga dikepala ini…

Tahukah engkau tulisan pertamaku ketika menginjakkan kaki di pulau jawa?

‘Aku akan membahagiakanmu ibu”

Semoga engkau bahagia di alam kubur dan di yaumil akhir….

Selasa, 10 November 2009

Irama kehidupan seorang ukhti

“Tata (Panggilan sayang sang ibu padanya), ibu ingin sekali menghadiri acara wisuda dan pernikahanmu”


Kabut gelap belum saja berlalu. Suasana pagi tidak secerah biasanya, mentari belum kunjung menampakkan wajahnya. Tiada hujan, tetapi tidak terlihat keramain di pagi itu padahal waktu menunjukan pukul 7 lebih. Maklum, biasanya suasana kost nan ramai oleh rutinitas persiapan perkuliahan di kampus pendidikan yogyakarta itu tiba-tiba terasa sepi.

Tampak seorang wanita dengan mengenakan jilbab lebarnya warna coklat sedang termenung. Ia orang yang disegani dikomunitas kosnya, mungkin karena ia yang paling tua diantara yang lain atau boleh jadi karena ia salah seorang yang senior dan memiliki peranan penting dikomunitas dakwah kampus mereka. Ia orang yang ramah sehinga wajar saja teman-teman merasakan hal yang aneh di pagi itu. Pasalnya, setelah sholat shubuh biasanya mereka mengadakan pertemuan dan bincang-bincang tentu saja setelah mereka wiridan ma’tsur, kali ini tanpa kehadiran beliau. Teman-temanya tidak berani menanyakan kondisi beliau, mereka mengira mungkin lelah karena kemarinnya seharian mengikuti dauroh.

Tiba-tiba saja mereka terkejut ketika menyaksikan orang yang paling mereka segani dan menjadi panutan duduk termangu, badannya lemas dan matanya berair. Selepas sholat shubuh ia mendapat telphon dari ayahnya yang jauh di pulau sumatra. Seluruh tubuh bergetar dan keringat membasahi sekujur tubuh saat suara tegas sang ayah menyampaikan “Ibunda telah mendahului kita ke syurga”. Tangisanpun tak tertahan.

Beberapa hari sebelumnya ia sudah mendapat khabar bahwa ibunya sedang sakit dan dirawat di rumah sakit. Akan tetapi saat itu sedang ada ujian semester ditambah lagi aktivitasnya sangat padat karena dua amanah dakwah yang ia jalani sekaligus, cukup menguras tenaga dan pikirannya. Tak terbayangkan, kader dakwah kampusnya banyak tersebar, tapi masih ada saja yang rangkap jabatan penting, apalagi di usia studinya yang telah masuk tahun ke 5 memiliki masalah yang membutuhkan perhatian para mas’ulnya.

Kenapa aku tidak pulang? Kenapa nasibku seburuk ini? Suara penyesalan wanita itu lagi-lagi terulang. Ia marah dengan dirinya sendiri karena tak ada seorang pun yang mau menggantikan salah satu amanahnya di kampus saat sang ibu berpesan padanya beberapa bulan sebelum kepergiannya di bulan syawal “Tata (Panggilan sayang sang ibu padanya), ibu ingin sekali menghadiri acara wisuda dan pernikahanmu”.

Pagi itu juga ia langsung berangkat ke sumatera setelah di belikan tiket pesawat oleh sang ustadzh. Sang ustazhlah yang memberikan ketenangan dan ketegaran jiwanya, seakan-akan hanya beliau yang dapat mengerti dan memperhatikannya saat duka melanda.

Dua pekan berlalu, rutinitas dakwah kampus berjalan seperti biasa. Walaupun sebagian ikhwah mulai kebingungan mencari pengganti untuk menghandle sementara amanahnya. Apalagi bagi sang mas’ul, setelah dihubungi ia memutuskan untuk tidak balik lagi ke jogyakarta untuk beberapa waktu yang tidak ada kepastian. Pasalnya ia harus menjaga dan mendampingi sang ayah karena sakitnya kambuh setelah kepergian sang istri.

Aku memutuskan untuk mendampingi sang ayah, ungkapnya dengan tegas walau terdengar parau karena kurang tidur dan banyak menagis dalam sebuah telphon seluler kepada sang mas’ul. Sebenarnya berat hati untuk meninggalkan amanah dakwah, akan tetapi takdir Allah menghendaki demikian (ungkapnya dalam hati).

“assalamu’alaikum.wr.wb, teh ana minta diuruskan kepindahan ngaji ana di sumatera. Ana tidak tahu apakah masih dapat melanjutkan kuliah atau tidak, karena sakit ayah makin parah dan kaki sebelah kanannya akan di amputasi”. SMS itu ia kirim ke Teh Anik sang ustadzah yang mendampingi dan membimbingnya ketika masih kuliah.

Teh anik (0813000xxxx)

Ukhti, coba ingat saat kita rihlah ke Bonbin Gembiraloka. Perhatikan kicau burung disekeliling kita yang begitu merdu. Alunan seruling angin yang bertiup melalui celah-celah kabut dingin. Gemercik aliran sungai ketika berbenturan dengan batu cadas. Dan sekali-kali dilengkapi dentuman bedug kehidupan yang terasa begitu keras. Perhatikan ukhti, suara-suara itu membentuk sebuah irama merdu dan mengasyikkan. Nikmatilah, buatlah seribu satu tarian harapan. Allah tidak akan memberikan irama kehidupan kecuali sesuai dengan kemampuan hambanya. Oya, ana sudah menghubungi ustdzah Fitri nanti beliau menghubungi anti.

Semua orang paham kalau sebuah irama merdu tidak berasal dari satu jenis suara. Ia merupakan perpaduan berbagai suara yang boleh jadi terkesan tidak sejalan atau bahkan bertentangan. Ada warna halus alunan seruling, ada dentuman kasar suara dram. Ada lengking gema dawai. Itulah warna-warni rasa kehidupan. Ada warna halus suara bahagia, ada warna kasar suara duka. Silih berganti suara itu mengalun, membentuk sebuah irama.

Sobat, begitulah irama hidup. Nikmatilah melodi indahnya. Buatlah tarian syukur dan lantunan sabar. Agar perjalanan hidup benar-benar mengasyikan. Ingatlah Allah tidak akan membebani hambanya dengan apa yang diluar kesanggupannya.

Sumber: irama kehidupan